Dalam kaitan dengan keterlibatan sosial, tanggung jawab sosial perusahaan berkaitan langsung dengan penciptaan atau perbaikan kondisi sosial ekonomi yang semakin sejahtera dan merata. Tidak hanya dalam pengertian bahwa terwujudnya keadilan akan menciptakan stabilitas sosial yang akan menunjang kegiatan bisnis, melainkan juga dalam pengertian bahwa sejauh prinsip keadilan dijalankan akan lahir wajah bisnis yang lebih baik dan etis. Tidak mengherankan bahwa hingga sekarang keadilan selalu menjadi salah satu topic penting dalam etika bisnis.
a. Teori keadilan Aristoteles Atas pengaruh Aristoteles secara tradisional keadilan dibagi menjadi tiga :
1. Keadilan Legal
Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku. Itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada secara tanpa pandang bulu. Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara dihadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Semua pihak dijamin untuk mendapatkan perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku.
2. Keadilan Komutatif
Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yan lain atau antara warganegara yang satu dengan warga negara lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara warga yang satu dengan warga yang lain. Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang adil antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengembalikan pinjaman, memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas, dan menjual barang dengan mutu dan harga yang seimbang.
3. Keadilan Distributif
Prinsip dasar keadilan distributif yang dikenal sebagai keadilan ekonomi adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Keadilan distributif punya relevansi dalam dunia bisnis, khususnya dalam perusahaan. Berdasarkan prinsip keadilan ala Aristoteles, setiap karyawan harus digaji sesuai dengan prestasi, tugas, dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah. Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua peni laian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.
b. Teori Keadilan Adam Smith
Pada teori keadilan Aristoteles, Adam Smith hanya menerima satu konsep atau teori keadilan yaitu keadilan komutatif. Alasannya, yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain.
1. Prinsip No Harm
Prinsip keadilan komutatif menurut Adam Smith adalah no harm, yaitu tidak merugikan dan melukai orang lain baik sebagai manusia, anggota keluarga atau anggota masyarakat baik menyangkut pribadinya, miliknya atau reputasinya. Pertama, keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain. Kedua, pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan rakyat sendiri wajib menaati pemerintah selama pemerintah berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan terjamin suatu tatanan sosial yang harmonis. Ketiga, keadilan berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality), yaitu prinsip perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat.
2. Prinsip Non-Intervention
Disamping prinsip no harm, juga terdapat prinsip no intervention atau tidak ikut campur dan prinsip perdagangan yang adil dalam kehidupan ekonomi. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan orang lain.campur tangan dalam bentuk apapun akan merupakan pelanggaran terhadap hak orang tertentu yang merupakan suatu harm (kerugian) dan itu berarti telah terjadi ketidakadilan.
3. Prinsip Keadilan Tukar
Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. Dalam keadilan tukar ini, Adam Smith membedakan antara harga alamiah dan harga pasar atau harga aktual. Harga alamiah adalah harga yang mencerminkan biaya produksi yang telah dikeluarkan oleh produsen, yaitu terdiri dari tiga komponen biaya produksi berupa upah buruh, keuntungan untuk pemilik modal, dan sewa. Sedangkan harga pasar atau harga aktual adalah harga yang aktual ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang didalam pasar. c. Keadilan sosial ala John Rawls John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberika manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
d. Prinsip Keadilan Distributif Rawls
Rawls merumuskan dua prinsip keadilan distributif, sebagai berikut:
a. the greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip the greatest equal principle, menurut penulis, tidak lain adalah ”prinsip kesamaan hak” merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang (i.c. para kontraktan). Prinsip ini merupakan ruh dari azas kebebasan berkontrak.
b. ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan azas atau prinsip berikut: (1) the different principle, dan (2) the principle of fair equality of opportunity. Prinsip ini diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang (Prinsip Perbedaan Obyektif). Prinsip kedua, yaitu “the different principle” dan ”the principle of (fair) equality of opportunity”, menurut penulis merupakan “prinsip perbedaan obyektif”, artinya prinsip kedua tersebut menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehingga secara wajar (obyektif) diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness (redelijkheid en billijkheid). Dengan demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai dengan azas proprosionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif. Dengan penekanannya yang begitu kuat pada pentingnya memberi peluang yang sama bagi semua pihak, Rawls berusaha agar keadilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak dan sosialisme di lain pihak. Rawls mengatakan bahwa prinsip (1) yaitu the greatest equal principle, harus lebih diprioritaskan dari prinsip (2) apabila keduanya berkonflik. Sedang prinsip (2), bagian b yaitu the principle of (fair) equality of opportunity harus lebih diprioritaskan dari bagian a yaitu the different principle. Keadilan harus dipahami sebagai fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati pelbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pertanggungjawaban moralitas ”kelebihan” dari mereka yang beruntung harus ditempatkan pada ”bingkai kepentingan” kelompok mereka yang kurang beruntung. “The different principle” tidak menuntut manfaat yang sama (equal benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik (reciprocal benefits), misalnya, seorang pekerja yang terampil tentunya akan lebih dihargai dibandingkan dengan pekerja yang tidak terampil. Disini keadilan sebagai fairness sangat menekankan azas resiprositas, namun bukan berarti sekedar ”simply reciprocity”, dimana distribusi kekayaan dilakukan tanpa melihat perbedaan-perbedaaan obyektif di antara anggota masyarakat. Oleh karenanya, agar terjamin suatu aturan main yang obyektif maka keadilan yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice, artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus terefleksi melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula. Terkait dengan kompleksitas hubungan kontraktual dalam dunia bisnis, khususnya terkait dengan keadilan dalam kontrak, maka berdasarkan pikiran-pikiran tersebut di atas kita tidak boleh terpaku pada pembedaan keadilan klasik. Artinya analisis keadilan dalam kontrak harus memadukan konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi – kontra prestasi) sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan komutatif maupun konsep keadilan distributif sebagai landasan hubungan kontraktual. Memahami keadilan dalam kontrak tidak boleh membawa kita kepada sikap monistic (paham tunggal), namun lebih dari itu harus bersikap komprehensif. Dalam keadilan komutatif yang menjadi landasan hubungan antara person, termasuk kontrak, hendaknya tidak dipahami sebagai kesamaan semata karena pandangan ini akan membawa ketidakadilan ketika dihadapkan dengan ketidakseimbangan para pihak yang berkontrak. Dalam keadilan komutatif didalamnya terkandung pula makna distribusi-proporsional. Demikian pula dalam keadilan distributif yang dipolakan dalam hubungan negara dengan warga negara, konsep distribusi-proporsional yang terkandung didalamnya dapat ditarik ke perspektif hubungan kontraktual para pihak.
e. Jalan Keluar atas Masalah Ketimpangan Ekonomi
Jalan keluar untuk memecahkan persoalan perbedaan dan ketimpangan ekonomi dan sosial yang antara lain disebabkan oleh pasar adalah bahwa disamping menjamin kebebasan yang sama bagi semua, negara dituntut untuk mengambil langkah dan kebijaksanaan khusus tertentu yang secara khusus dimaksudkan untuk membantu memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi kelompok yang secara objektif tidak beruntung bukan karena kesalahan mereka sendiri. Langkah atau kebijaksanaan khusus ini memang hanya dimaksudkan untuk kelompok yang memang atas kemampuan mereka sendiri tidak bisa memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi mereka. Jadi jalan keluar yang diajukan atas ketimpangan ekonomi adalah dengan mengandalkan kombinasi mekanisme pasar dan kebijaksanaan selektif pemerintah yang khusus ditujukan untuk membantu kelompok yang secara objektif tidak mampu memanfaatkan peluang pasar secara maksimal.
http://m31ly.wordpress.com/2009/11/13/6/
CONTOH kasus :
1. Salah satu pilar yang mempengaruhi kehidupan masyarakat adalah sektor ekonomi ataupun komunitas bisnis. Selanjutnya keadilan merupakan kata kunci dalam aktivitas bisnis, dikarenakan ini berhubungan dengan pembagian barang dan jasa yang terbatas kepada semua orang. Dasar teori ekonomi adalah, bagaimana setiap orang memaksimalkan keuntungan atau kegunaan maupun pemenuhan kebutuhannya dari barang dan jasa yang terbatas. Penekanan dalam paradigma ini adalah, “maksimalisasi” dan “terbatas”. Berkenaan dengan seorang konsumen atau pengguna barang dan jasa, tingkat kegunaan diukur dengan nilai uang, tingkat kepuasan, kesehatan, kenyamanan, keamanan ataupun kesejahteraan. Contohnya, dengan anggaran yang terbatas, seseorang berusaha mendapatkan rumah yang baru serta memberikan kenyamanan paling maksimum. Sementara itu bagi penghasil barang dan jasa ataupun produsen, tingkat kegunaan diukur dengan profit atau pendapatan. Dengan pengetahuan yang dimiliki, setiap orang akan mencari pekerjaan yang memberikan pendapatan paling tinggi, ataupun dengan modal dan tenaga kerja yang ada, produsen berupaya membuat barang dan jasa sebaik mungkin agar memberikan keuntungan paling tinggi.
Wujudnya kelangkaan ekonomi dalam kehidupan manusia, kekayaan atau pemilikan barang dan jasa tidak terlepas dari keadilan. Keadilan atau ketidakadilan tidak akan menjadi masalah bilamana barang dan jasa atau sumber daya yang tersedia berlimpah hingga tidak mempunyai harga, seperti air laut, angin dan sinar matahari jika terbiar tanpa diikhtiar, ataupun apabila suatu wilayah yang sangat luas dan kaya terhadap sumber daya alam hanya ada segelintir manusia. Karena itu, semakin langka barang dan jasa serta sumber daya alam, sementara jumlah penduduk terus bertambah, maka semakin besar masalah distribusi. Selanjutnya semakin besar permasalahan keadilan di dalam ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat.
Dengan demikian, keadilan menjadi masalah penting dalam etika. Pernyataan Bertens (2000), sulit sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis tetapi tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tak acuk terhadap ketidakadilan. Karenanya dari sudut pandang ekonomi adalah, menyangkut etika bisnis, karena bisnis adalah aktivitas ekonomi. Dalam aktivitas ini berlaku adalah tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan, dan interaksi lainnya dengan tujuan memperoleh manfaat atau keuntungan. Dari sisi pandang ekonomi, bisnis yang bagus adalah, menghasilkan manfaat dan kuntungan paling besar. Akan tetapi etika bisnis menjadi tidak relevan pada saat dinilai dari sisi pandang moral. Contohnya, demi mengejar keuntungan sebesar mungkin, sebuah perusahaan pertambangan emas dan lain sebagainya, maka dengan tanpa perasaan siap mengorbankan kepentingan sosial dan atau tanpa memperhatikan serta merusak lingkungan di sekitar tempat dieksploitasi pertambangan, sehingga berlaku semena-mena untuk meraih keuntungan yang besar.
Ilustrasi tersebut jelas bahwa, ketamadunan masyarakat dilihat dari aspek ekonominya adalah, berhubungan dengan pendistribusian secara adil barang dan jasa terhadap semua orang sesuai proporsinya masing-masing. Ketidakadilan dalam ekonomi berlaku dalam berbagai aspek, bermula dari ketimpangan dalam pembahagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian hingga kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Kesemuanya ini bermuara kepada kemiskinan. Dengan kata lain, ketidakadilan dalam ekonomi erat keterkaitannya dengan masalah kemiskinan dan kesenjangan. Sangatlah mustahil untuk menyatakan bahwa, suatu bangsa sangat bertamadun jika di negara tersebut sebahagian besar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebahagian besar petaninya adalah petani gurem.
Dari kacamata ekonomi, bisnis yang baik adalah yang selalu menghasilkan keuntungan besar. Di dalam teori produsen atau teori ekonomi mikro, dinyatakan bahwa setiap pengusaha mencari keuntungan sebesar mungkin, dengan biaya seminimum mungkin. Maksimalisasi keuntungan merupakan tema krusial dalam ilmu ekonomi, ini merupakan cita-cita ataupun dasar perkembangan kapitalisme liberal yang tumbuh pesat sejak era merkantilisme, kemudian, fisiokrat oleh Francis Quesnay dilanjutnya para ekonom mahzab liberal klasik sejak abad 18 yang lalu, oleh Adam Smith dilanjutkan David Ricardo, Thomas Malthus, James Mill, John Stuart Mill dan lain-lain . Sehingga mendorong negara-negara Eropah Barat melakukan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah dan Asia, seperti halnya Belanda dengan mengawali misi dagang VOC dalam menjajah Indonesia.
Kondisi riel saat ini banyak kasus yang empiris dapat terlihat merefleksikan bisnis kapitalis, sebagai realitas penjajahan ekonomi kapitalis. Sebagai contoh, pertama, salah satu bahkan dapat dikatakan sebagai motivasi utama dari perusahaan-perusahaan di negara-negara maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari sumber daya alam berlimpah dan tenaga kerja murah. Kedua, banyak perusahaan lebih suka memilih buruh lepas atau kotrakan daripada pegawai tetap demi keuntungan. Ketiga, banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri di banyak negara melakukan “subcontracting” dengan pemasok-pemasok skala kecil, bukan ingin berbagi keuntungan melainkan untuk mengurangi biaya produksi dan menggeser risiko bisnis kepada para pemasok-pemasok tersebut.
Sementara itu dari sudut pandang moral, bisnis yang selalu membuat keuntungan besar tidak selalu dianggap bagus, bilamana keuntungan tersebut didapat dengan cara tidak manusiawi. Seperti, malakukan eksploitasi pertambangan tanpa mengenal waktu siang dan malam, tidak memberikan keuntungan sosial terhadap masyarakat dan merusak lingkungan hidup. Ini merupakan contoh konkrit sikap pengusaha atau pelaku bisnis yang telah melanggar etika bisnis.
Jadi etika bisnis adalah aktivitas yang tidak merugikan salah satu pihak, dan menguntungkan kedua belah pihak. Secara konkrit, etika bisnis atau disebut juga etika ekonomi berkaitan dengan praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, dan semacamnya yang sangat mempengaruhi tidak saja sehat-tidaknya suatu ekonomi, tetapi juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara dan wilayah.
Konkritnya aspek sosial ekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga masyarakat, pekerjaan dengan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Menurut Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yang merata atau dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan distributif menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan. Teori egalitarianisme menyatakan pembagian bisa saja dikatakan adil jika semua orang mendapatkan bagian yang sama. Jadi dasar pemikiran ini adalah, bahwa membagi dengan adil adalah membagi rata. Teori sosialistis memilih prinsip kebutuhan setiap orang sebagai dasar pemikirannya. Jadi kebutuhan masyarakat adil, jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti sandang, pangan, papan. Sosialisme memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh dalam konteks industrialisasi. Jadi beban berat harus dibagi dituntut pengorbanan semua masyarakat, hal-hal yang baik untuk diperoleh harus diberikan sesuai dengan kebutuhan.
Teori liberalistis yang menganggap pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yang tidak adil. Pembahagian harus didasarkan pada usaha-usaha bebas dari individu-individu bersangkutan. Jika tidak berusaha, tidak mempunyai hak pula untuk memperoleh sesuatu. Oleh karena itu menurut Bertens (2000) jika keadilan adalah memberikan kepada setiap orang menjadi haknya, misalnya hak pekerjaan, pendidikan, kelestarian lingkungan hidup, pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial ekonomi terwujud, bila hak-hak sosial ekonomi terpenuhi. Karena kompleksitas masyarakat modern, maka keadilan sosial ekonomi yang sesungguhnya tidak pernah dapat dilaksanakan dengan sempurna. Namun demikian, tidak pula menciptakan penjajahan serta penjarahan ekonomi dengan model dan gaya baru
2.Bisnis adalah kegiatan ekonomi, atau ekonomi adalah kegiatan bisnis.
Dari sudut pandang ekonomi, bisnis yang baik adalah yang selalu menghasilkan keuntungan besar. Di dalam teori produsen (teori ekonomi mikro), dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari keuntungan sebesar mungkin dengan biaya seminimum mungkin. Maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini merupakan cita-cita,
Ini juga yang mendorong negara-negara di Eropa Barat melakukan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah dan Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yang diawali dengan misi dagang dari V.O.C. yang akhirnya menjajah Indonesia.
Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi dengan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; kalau bisa tidak mengeluarkan satu senpun biaya yang berarti buruh-buruhnya tidak digaji. Hingga saat ini banyak sekali kasus yang dapat dilihat yang merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh dapat disebut di sini.
1. salah satu atau bahkan dapat dikatakan sebagai motivasi utama dari perusahaan-perusahaan di negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari tenaga kerja murah. Kedua,
2. Banyak perusahaan di Indonesia lebih suka memakai buruh lepas atau kontrakan daripada pegawai tetap demi keuntungan perusahaan.
3. Banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur di Indonesia dan dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala kecil, bukan karena ingin berbagi keuntungan dengan mereka melainkan untuk mengurangi biaya produksi dan sekaligus menggeser resiko bisnis akibat perubahan pasar secara tiba-tiba ke para pemasok-pemasok tersebut.
Sedangkan dari sudut pandang moral, bisnis yang selalu membuat keuntungan besar tidak selalu dianggap sebaga bisnis yang bagus, apabila keuntungan tersebut didapat dengan cara ketidakmanusiaan seperti misalnya
* membayar upah yang sangat murah atau dengan cara penipuan
* memakai bahan baku yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, seperti dalam kasus tahu dengan memakai bahan pengawet formalin.
Kasus formalin ini merupakan satu contoh konkrit dari suatu sikap pengusaha/pelaku bisnis yang telah melanggar etika dalam bisnis atau yang umum disebut etika bisnis. Tetapi apakah etika bisnis itu sendiri?
Menurut Keraf (1998) etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lainatau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jadi, secara sederhana etika bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yang manusiawi dalam melakukan bisnis, atau melakukan bisnis sesuai norma-norma moral yang umum diterima.
Masalah etika bisnis tidak hanya pada tingkat pengusaha/perusahaan secara individu, tetapi juga pada tingkat nasional, baik yang dilakukan oleh masyarakat secara umum atau pemerintah. Yang dilakukan oleh masyarakat, misalnya penjualan dan pembelian kaset bajakan seperti yang terjadi dalam kasus kaset musik hasil Live Aid yang dipimpin oleh Bob Geldof dan diselenggarkan serentak di stadion F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat, dan di stadion Wembley di London, Inggris, pada 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan untuk mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu kemudian muncul kaset-kaset rekaman konser tersebut di sejumlah negara di Timur Tengah dan juga di Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tersebut mencantumkan made in Indonesia, dan bahkan ada yang memakai pita cukai Indonesia. Menurut berita dari Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman di Indonesia yang terlibat di dalam pembajakan kaset tersebut.
Sedangkan pelanggaran etika bisnis yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini bisa dilihat misalnya adalah dalam kasus pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia memiliki Undang-Undang Agraria dan UUD 1945 Pasal 33 menekankan keadilan dalam ekonomi, sejak pemerintahan Orde Baru hingga saat ini tidak ada usaha mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani oleh masyarakat kaya. Jadi, dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan bisnis yang tidak merugikan salah satu pihak atau menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Keraf (1998), ada tiga sasaran dan lingkup pokok etika bisnis.
1. Etika bisnis sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, dan masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis.
2. Etika bisnis adalah untuk menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset umum seperti lingkungan hidup, akan hak dan kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapa pun juga
3. Etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konkrit, etika bisnis ini atau disebut juga etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, dan semacamnya yang sangat mempengaruhi tidak saja sehat-tidaknya suatu ekonomi tetapi juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara.
3.Kenaikan Harga Tiket Jambi-Padang Tak
Manusiawi
MEDAN | DNA – Adanya dugaan beberapa maskapai penerbangan yang melihat musibah gempa di Padang dan Jambi sebagai peluang bisnis dengan menaikkan harga tiket pesawat kelas ekonomi adalah perbuatan tidak manusiawi. Demikian ditegaskan anggota Fraksi PPP DPTD Medan Drs. Muhammad Yusuf, SPDI Selasa (6/10) diruang kerjanya.
Dikatakannya, banyaknya keluhan masyarakat karena terjadi lonjakan harga tiket jurusan Padang-Jambi pasca gempa mesti menjadi perhatian serius pemerintah. Kita sangat mendukung apa yang disampaikan Kepala Cabang PT (Persero) II Angkasa Pura Bandara Polonia Endang A. Sumiarsih beberapa waktu lalu akan mencabut ijin operasional counter tiket tidak diperbolehkan lagi ada di Bandara Polonia bagi 3 maskapai penerbangan Mandala Airlines, Sriwijaya Airlines dan Lion Airlines kalau menjual tiket melebihi TBA (Tarif Batas Atas).
"Namun kita sangat mengharapkan adanya tindak lanjut yang serius dari pernyataan Kacab Angkasa Pura Bandara Polonia tersebut. Jangan hanya sekedar lips service belaka. Disamping itu TNI Angkatan Udara, Kepolisian, administrator Bandara dan pihak terkait mesti proaktif mendukung niat baik dan pernyataan itu," kata Yusuf yang juga wakil ketua DPC PPP Kota Medan itu.
Ditegaskannya, jauh-jauh hari Allah SWT telah mengingatkan dan memerintah umat manusia untuk saling tolong bersitolongan dalam kebaikan dan takwa. Bukan tolong bersitolongan dalam kemungkaran. Maka sikap tolong menolong adalah wajib bagi manusia termasuk menolong korban bencana alam di padang dan Jambi. Jangan kita memanfaatkan duka cita, penderitaan dan nasib tragis orang lain sebagai sumber rejeki untuk pribadi maupun kelompok.
Menurutnya, pasca musibah gempa di Padang Dan Jambi semestinya harga tiket semua transportasi bukan hanya tiket pesawat tapi harga tiket semua jenis angkutan laut, darat dan udara yang menuju lokasi bencana lebih dimurahkan. Apalagi kepada penumpang yang sengaja turun kelokasi untuk mencari, menjenguk dan mengetahui nasib kerabat maupun saudaranya diseputaran lokasi musibah. Ini kok malah yang terjadi sebaliknya banyak oknum yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sudah begini pudarkah moralitas bangsa Indonesia yang mengaku sebagai umat yang beragama, tanya Yusuf.
Lebih lanjut dikatakannya, disamping mengontrol harga tiket pemerintah juga mesti segera menurunkan aparat hukum yang bermoral sebanyak-banyaknya untuk mengatur, mengawasi lalu lintas masuk dan keluarnya bantuan barang dan uang yang ditujukan untuk korban gempa dan keluarganya. Menguasai lokasi musibah dari oknum-oknum dan jaringan mafia yang memang mengincar bantuan bencana alam sebagai sumber rejekinya.
"Terhadap perbuatan orang perorang atau kelompok seperti ini mesti diberantas dan dicegah untuk tidak terulang lagi dimasa-masa yang akan datang dengan hukuman mati. Dapat dijadikan pelajaran dari kasus perkasus dari tragedi bencana terdahulu bahwa hampir semua bentuk bantuan barang dan uang selalu menimbulkan masalah yaitu terjadi penyimpangan dan korupsi. Perbuatan ini mesti diputus dengan hukuman mati bagi pelakunya.
Pendapat atas artikel di atas
Kejadian di atas melanggar etika dalam berbisnis. Terutama prinsip-prinsp dari etika bisnis, antara lain prinsip kejujuran, prinsip keadilan dan prinsip saling menguntungkan. Pada prinsip kejujuran, maskapai-maskapai penerbangan tidak bertindak jujur dengan tiba-tiba menaikkan harga tinggi sekali yang melampaui harga batas atas. Padahal itu merupakan peraturan dari pemerintah. Dengan kata lain, telah dilakukan penipuan kepada konsumen.
Pada prinsip keadilan, maskapai-maskapai penerbangan itu telah bertindak tidak adil. Karena memanfaatkan kondisi masyarakat yang sedang mengalami kesulitan. Pada saat masyarakat membutuhkan tiket murah karena keluarganya terkena bencana, harga tiket tersebut malah melonjak tinggi. Jelas ini telah melanggar prinsip keadilan.
Pada prinsip saling menguntungkan sudah jelas terlihat bahwa yang diuntungkan disini hanya maskapai penerbangan. Hal ini terlihat karena harga yang sangat tinggi membuat masyarakat kesulitan untuk memperoleh tiket (karena harganya mahal). Sedangkan harga yang seharusnya tidak mencapai sedemikian mahal harus dibayar oleh masyarakat. Kerugian dialami oleh masyarakat yang harus mengeluarkan uang tambahan untuk mendapatkan tiket tersebut.
Sangsi seharusnya diberikan pada perusahaan maskapai yang melakukan hal tersebut. Pencabutan izin operasional dapat menjadi salah satu hukuman yang dapat diberikan.
kesimpulan ....
Dari artikel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada saat ini masih banyak perusahaan-perusahaan (dalam hal ini maskapai penerbangan) yang masih mengambil untung dari konsumennya. Mengambil untung disini bukan mengambil keuntungan secara wajar tetapi dengan memanfaat situasi kondisi konsumen yang sedang dalam keadaan tidak baik. Hal ini jelas melanggar prinsip-prinsip etika bisnis, antara lain prinsip kejujuran, prinsip keadilan dan prinsip saling menguntungkan.
Selain itu, mengambil keuntungan pada saat tersebut sangat tidak manusiawi. Pada saat sesama kita membutuhkan pertolongan seharusnya kita memberikan pertolongan untuk meringankan bebannya, bukan malah memberatkan keadaan mereka.
saran...
Menanggapi hal ini, sebaiknya direktorat jenderal Perhubungan segera melakukan pengawasan yang baik terhadap kegiatan jasa transportasi tersebut.
perusahaan-perusahaan yang melakukan hal tersebut sebaiknya diberikan sangsi, Sangsi berupa pencabutan izin operasional seperti yang dikatakan dalam artikel seharusnya didukung dan dilakukan. Hal ini agar perusahaan tersebut mendapatkan efek jera.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar